Rabu, 31 Oktober 2012

Kualitas Hadits


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar belakang
Hadits adalah pedoman umat Islam setelah Al-Quran, namun terlepas dari itu masih banyak umat Islam yang sedikit sekali pemahamannya tentang hadits. Oleh karena itu, pemakalah akan mencoba membahas ilmu hadits seputar pembagian hadits di tinjau dari kualitasnya, definisi, syarat, contoh, dan permasalahan-permasalahan yang mencakup pembagian hadits tersebut. Agar kita dapat mengetahui pembagian hadits yang belum kita ketahui.
Di sini kami akan membahas pembagian Hadits di tinjau dari kualitas hadits, hadits Shahih, hasan dan dhoif.
B.  Rumusan Masalah
A.  Apakah hadits Shahih itu ?
B.  Apakah Hadits Hasan itu ?
C.  Apkah hadits Dhaif itu ?







BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits
            Secara Etimologi hadits berasal dari bahasa Arab, yaitu “Al-hadits”. Al-haditsan. Dan al-hudtsan. Secara Etimologis, kata ini mempunyai banyak arti, di antaranya al-adid ( yang baru) lawan dari l-qadim (yang lama), khabar, yang berarti kabar atau berita.
            Sedangkan hadits secara Terminologis,para ulama, baik muhaditsin, fuqaha, ataupunulama ushul, asensi hadits adalah segala berita yang berkenaan dengan sabda, perbuatan, takrir, dan hal ikhwal Nabi Muhammad SAW.

Pembagian hadits di tinjau dari kualitasnya.
A. Hadits shahih
kata Shahih (الصحيخ ) dalam bahasa diartikan orang sehat antonim dari kata as-saqim (السقيم )=  orang yang sakit jadi yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang sehat dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat. Atau  hadits yang bersih dari  cacat,dan  Benar- benar berasal dari Rosululloh SAW. Sahih berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”.
          Sedangkan shohih menurut istilah ialah hadits yang bersambung sanadnya,Yang di riwayatkan oleh rowi yang adil, dhobit dari rowi lain yang menyamainya sampai akhir sanad dan tidak mengandung kejanggalan dan tidak punya illat.
Secara istilah , beberapa ahli memberikan definisi antara lain sebagai berikut:
a. Menurut Ibn al-shalah, hadits shahih adalah “hadits yang sanadnya bersambung (muttashil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabit dari orang yanga dil dan dhabith , sampai akhr sands tidak ada kejanggalan dan tidak ber’illat.
b. Menurut Iman al-Nawwawi, hadits shahih adalah “hadits yang bersambung sanad-nya, diriwayatkan oleh pera-wi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak ber-‘illa”.

Adapun syarat-syarat hadits shoheh antara lain:
1.Rowinya bersifat adil
2.Sempurna ingatannya
3.Sanadnya tidak putus
4.Tidak ada ilat
5.Tidak adanya kejanggalan

B. Hadits hasan

            Menurut bahasa hasan berarti sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya.
segi bahasa hasan dari kata al-husnu (الحسن ) bermakna al-jamal (الجمال) yang berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan defenisi hadits hasan secara beragam.

            Dengan kata lain hadits hasan adalah :
هُوَ مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِنَقْلِ اْلعَدْلِ الّذِي قَلَّ ضَبْطُهُ وَخَلاَّ مِنَ الشُّذُوْذِ وَاْلعِلَّهِ

Hadits hasana adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz) dan tidak ‘illat.

1. Syarat Hadits Hasan
Adapun syarat hadits hasan sama dengan syarat hadits shahih, yaitu ada lima namun tingkat kedlobitanya berbeda.
a. Sanadnya bersambung,
b. Perawinya adil, lebih rendah dari hadits shahih,
c. Dlobith,
d. Tidak ada illat,
e. Tidak ada syadz,
Hadits hasan terbagi menjadi dua jenis: hasan lidzatihi (hasan dengan sendirinya) dan hasan lighairihi (hasan dengan topangan hadits lain).
Apabila hanya disebut “Hadits Hasan”, yang dimaksudkan adalah hadits hasan lidzatihi, dengan batasan seperti tersebut di atas. Dinamakan hasan lidzatihi, karena sifat kehasanannya muncul di luarnya. Dengan demikian, hasan lidzatihi ini dengan sendirinya telah mencapai tingkatan shahih dalam berbagai persyaratannya, meskipun nilainya sedikit di bawah hadits shahih berdasarkan ingatan para perawinya.
Hadits hasan lighairihi adalah hadits dloif yang memiliki sanad lebih dari satu. Sanad-sanad yang ada menguatkan sanad yang dloif tersebut. Ada juga yang mendefinisikan hadits hasan lighairihi sebagai hadits yang dalam isnadnya tersebut orang yang tidak diketahui keadaaanya, tidak biasa dipastikan kelayakan atau ketidaklayakannya. Namun ia bukan orang lengah yang banyak berbuat salah dan tidak pula dituduh berbuat dusta. Sedangakan matannya didukung oleh mutabi’ atau syahid.
2. Hukum hadits Hasan
Bisa dijadikan sebagai hujjah (argument), sebagaimana hadits shahih, meskipun dari segi kekuatannya berbeda. Seluruh fuqaha menjadikannya sebagai hujjah dan mengamalkannya, begitu pula sebagian besar pakar hadits dan ulama’ ushul, kecuali mereka yang memiliki sifat keras. Sebagian ulama’ yang lebih longgar mengelompokkannya dalam hadits shahih, meski mereka mengatakan tetap berbeda dengan hadits shahih yang telah dijelaskan sebelumya.
3. Contoh Hadits Hasan
Dikeluarkan oleh Tirmidzi, yang berkata:
Telah bercerita kepada kami Qutaibah, telah bercerita kepada kami Ja’far bin Sulaiman ad-Dluba’i, dari Abi Imran al-Juauni, dari Abu Bakar bin Abi Musa al-Asyari, yang berkata: Aku mendengar bapakku berkata –di hadapan musuh–: Rasulullah SAW. bersabda: Sesungguhnya pintu-pintu surga itu berada di bawah kilatan pedang…”al-Hadits.
Hadits ini hasan karena empat orang perawi sanadnya tergolong tsiqoh, kecuali Ja’far bin Sulaiman ad-Dluba’i. jadilah haditsnya hasan.
C. Hadits dha’if
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (الضعيف) berarti lemah lawan dari Al-Qawi (القوي) yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi criteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah. Dalam istilah hadits dhaif adalah :
هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَهُ الْحَسَنِ بِفَقْدِ شَرْطٍ مِنْ شُرُوْطِهِ
Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat yang tidak terpenuhi.

Atau defenisi lain yang biasa diungkapkan mayoritas ulama :
هُوَ مَا لَمْ يَجْمَعْ صِفَهُ الصَّحِيْحِ وَاْلحَسَنِ
Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan.
Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad atau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.
           

Hadist dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.
a.      Hadits dha`if di karenakan gugurnya rawi
            Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadits dhaif yang disebabkan karena gugurnya rawi, antara lain yaitu :
1)      Hadits Mursal
            Hadits mursal menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan melihat dari rawi yang terdekat dengan imam yang membukukan hadits, seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat dengan Rasulullah). Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.
Contoh hadits mursal :
Artinya :
Rasulullah bersabda, “ Antara kita dan kaum munafik munafik (ada batas), yaitu menghadiri jama’ah isya dan subuh; mereka tidak sanggup menghadirinya”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Abdurrahman, dari Harmalah, dan selanjutnya dari Sa’id bin Mustayyab. Siapa sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits itu kepada Sa’id bin Mustayyab, tidaklah disebutkan dalam sanad hadits di atas.
Kebanyakan Ulama memandang hadits mursal ini sebagai hadits dhaif, karena itu tidak bisa diterima sebagai hujjah atau landasan dalam beramal. Namun, sebagian kecil ulama termasuk Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hanbal, dapat menerima hadits mursal menjadi hujjah asalkan para rawi bersifat adil.
2)      Hadits Munqathi’
            Hadits munqathi’ menurut etimologi ialah hadits yang terputus. Para ulama memberi batasan bahwa hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur satu atau dua orang rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad adalah tabi’in. Jadi, pada hadits munqathi’ bukanlah rawi di tingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in. Bila dua rawi yang gugur, maka kedua rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua rawi yang gugur itu adalah tabi’in.
contoh hadits munqathi’ :
Artinya :
Rasulullah SAW. bila masuk ke dalam mesjid, membaca “dengan nama Allah, dan sejahtera atas Rasulullah; Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah bagiku segala pintu rahmatMu”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar bin Ali Syaibah, dari Ismail bin Ibrahim, dari Laits, dari Abdullah bin Hasan, dari Fatimah binti Al-Husain, dan selanjutnya dari Fathimah Az-Zahra. Menurut Ibnu Majah, hadits di atas adalah hadits munqathi’, karena Fathimah Az-Zahra (putri Rasul) tidak berjumpa dengan Fathimah binti Al-Husain. Jadi ada rawi yang gugur (tidak disebutkan) pada tingkatan tabi’in.
3)      Hadits Mu’dhal
            Menurut bahasa, hadits mu’dhal adalah hadits yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan para ulama bahwa hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya.
Contohnya adalah hadits Imam Malik mengenai hak hamba, dalam kitabnya “Al-Muwatha” yang berbunyi : Imam Malik berkata : Telah sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Artinya :
Budak itu harus diberi makanan dan pakaian dengan baik.
Di dalam kitab Imam Malik tersebut, tidak memaparkan dua orang rawi yang beriringan antara dia dengan Abu Hurairah. Kedua rawi yang gugur itu dapat diketahui melalui riwayat Imam Malik di luar kitab Al-Muwatha. Imam Malik meriwayatkan hadits yang sama : Dari Muhammad bin Ajlan , dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah. Dua rawi yang gugur adalah Muhammad bin Ajlan dan ayahnya.


b. Hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi
Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat adil pada rawi. Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya.
Contoh-contoh hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi :
1)      Hadits Maudhu’
2)      Hadits matruk atau hadits mathruh
3)      Hadits Munkar
4)      Hadits Mu’allal
5)      Hadits mudraj
6)      Hadits Maqlub
7)      Hadits Syadz












BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
                         Hadits Shahih adalah hadits yang bersambung sanadnya yang diriwatkan oleh rawi yang adil dan dhabit dari rawi lain yang juga adil dan dhabit sampai akhir sanad, dan hadits itu tidak janggal serta tidak mengandung cacat (illat). Sedangkan hadits Hasan adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, kurang sedikit ke dhabitannya, tidak ada keganjilan, (syadz), dan tidak ada illat.
Untuk kriteria hadits hasan hampir sama dengan kriteria hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabith-an perawinya.
Adapun pembagian dari ke dua hadits tersebut, yaitu: Hadits Shahih terdiri dari hadits Hadits Shahih Li Dzatih dan Hadits Shahih Li Ghairih. Sedangkan hadits Hasan terdiri dari Hadits Hasan Li Ghairih dan Hadits Hasan Li Dzatih.
                         Hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad atau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.


B.     KRITIK DAN SARAN

                         Dari makalah ini penyusun menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan di dalam pembuatannya. Untuk itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak, agar dalam pembuatan makalah yang akan datang akan lebih baik dan tidak akan terjadi kesalahan lagi. Semoga dengan adanya makalah ini, kita dapat mengetahui tentang pembagian Hadits, baik itu hadits shahih, hasan maupun dhoif.







DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Muhammad, dkk, 2000, Ulumul Hadits, Bandung: CV. PUSTAKA SETIA
Amin, Phil. H. Kamaruddin, 2009, Metode Kritik Hadits, Jakarta: PT. Mizan Publika
As-Shalih, Subkhi, 1993, Membahas Ilmu-ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus
Ash Shiddieqi, M. Hasbi, 1987, Pokok-Pokok ilmu Diroyah Hadits, Jakarta: PT. Bulan Bintang.
http://ronyramadhanputra.blogspot.com/2009/04/hadits-dhaif.html



Tidak ada komentar: